Feminisme dapat dipahami sebagai sebuah Gerakan politik yang
bertujuan membebaskan perempuan dari diskriminasi dan supremasi kaum laki-laki
lebih tepatnya budaya patriarki[1]
yang mendiskreditkan dan mensubordinasi kaum perempuan. Kelahiran gerakan ini
bertolak dari respon terhadap marginalisasi perempuan dan kesadaran untuk
memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan.[2]
Gagasan feminisme berupaya menggeser bias laki-laki yang menjadi
epistemologi mainstream yang berkembang dalam memahami posisi dan kedudukan
perempuan. Bias epistemologi ini menurut Mary O’Biren, disebut sebagai malestream,
yang oleh Harding dan Hintikka malestream ini memuat tiga
kesalahan dalam epistemologinya, pertama, standar nilai yang digunakan
dalam metodologi berpijak pada pengetahuan dan pemahaman laki-laki, sehingga
nilai-nilai yang muncul merefleksikan sudut pandang laki-laki. Kedua, minimnya
keterlibatan perempuan dalam aspek sosial serta persepsi bahwa aktivitas
perempuan di ranah domestik dianggap tidak relevan dan tidak penting. Ketiga,
stigma yang dilekatkan terhadap perempuan bahwa mereka tidak memiliki
kompetensi dan kapabilitas untuk memproduksi pengetahuan.
Respon terhadap tiga problematika ini kemudian melahirkan tiga
bentuk gerakan feminisme. Gerakan pertama yang menentang terhadap epistemologi
yang bias gender dikenal dengan feminist empiricism. Gerakan ini menilai
bahwa pra-pemahaman yang memproduksi pengetahuan sarat dengan bias-bias gender
atau seksisme dan androsentrisme[3]
dalam konstruksi sosial masyarakat. Sepanjang androsentrisme masih mendominasi
pemahaman masyarakat, maka hal itu akan terus menjadi pijakan dalam konstruksi
pemahaman tentang relasi sosial yang timpang. Gerakan kedua yang hadir sebagai
respon terhadap pengabaian aspek pengalaman perempuan melahirkan gerakan feminist
standpoint yang berpijak pada penegasan terhadap urgensi pengetahuan dan
pengalaman hidup perempuan dalam membentuk pengetahuan yang komprehensif dalam
memahami kompleksitas realita sosial. Gerakan ketiga yakni gerakan feminist
postmodern memiliki persektif berbeda dari keduanya, karena menilai
-sebagaimana dalam paham postmodernisme[4]-
bahwa tidak ada sentralitas pengetahuan yang legitiim untuk mengatasnamakan
seluruh pengetahuan dan menolak segala bentuk klaim terkait kekuatan akal,
generalitas terhadap pengetahuan, sifat dan perihal eksistensi baik laki-laki
maupun perempuan yang secara signifikan akan mempengaruhi metodologi pemahaman
dan pembentukan pengetahuan tentang
relasi gender yang setara.[5]
Poros kemunculan gerakan feminisme dimulai dari gerakan
pemberontakan perempuan di Amerika Serikat untuk menuntut kesamaan hak
laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan munculnya wacana feminis sendiri sejak lahirnya esai Mary
Wollstencraft, yakni A Vindication of The Right of Women tahun 1972.
Walaupun secara gerakan terstruktur, tuntutan tersebut muncul pada 19 Juli 1848
di Seneca Falls ketika sekitar 300 orang hadir dalam pertemuan yang digagas
oleh Elizabeth Caddy Stanton yang menuntut hak memiliki, hak berbicara, hak
untuk mengajukan perceraian, hak dalam perdagangan, pendidikan, profesi hingga
hak memilih dalam politik.[6]
Gerakan ini selanjutnya semakin teroorganisir dengan munculnya
organisasi perjuangan dalam bentuk National Women Suffrage Association (NAWSA)
pada tahun 1890. Akhirnya, pada kongres Amerika yang diselenggarakan pada 18
Agustus 1920 mensahkan dan mengakui hasil amandemen 19 pasal yang memuat hak
memilih bagi perempuan. Meski demikian, perjuangan terus berlanjut karena masih
adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam beberapa aspek yang selanjutnya
memuncak pada demonstrasi di depan Gedung putih untuk menuntut Equal Right
Amanedemen (ERA).[7]
Perkembangan berikutnya muncul kesadaran di sebagian kalangan
feminis bahwa gerakan tersebut tidak membuat dunia menjadi lebih baik.
Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja wanita (TPAKW) di AS pada tahun
1980-an yang dianggap sebagai kemajuan perempuan dalam partisipasinya di sektor
publik (dunia maskulin) menyebabkan pemiskinan perempuan (feminization of
poverty) yang salah satunya disebabkan oleh pembalasan laki-laki (male
backlash) sebagai respon terhadap tuntutan kemandirian dari kaum perempuan
itu sendiri.[8]
Dengan menggugat diskriminasi dari adanya budaya patriarki tidak
berarti bahwa kehadiran matriarki sebagai antitesis untuk menyaingi laki-laki.
Melainkan adanya perbedaan gender seharusnya menjadi spirit untuk mencapai
keadilan gender, sehingga tidak ada gender tertentu yang merasa terdiskriminasi.[9]
Sejalan dengan gelombang gerakan feminis yang menyeruak pada awal
abad ke-17, spirit gerakan ini masuk dalam masyarakat Islam menurut Margot
Badran menemukan momentumnya pada akhir abad -19 dan awal abad ke-20 Masehi
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mesir seperti Muhammad Abduh, Qasim Amin dan
Rifa’ah al-Tantawi. Gerakan ini muncul sebagai bentuk kesadaran untuk melepas
belenggu yang memasung hak-hak perempuan. Upaya ini menjadi babakan awal
lahirnya kesadaran untuk menghadirkan sebuah masyarakat Islam yang terbuka dan
responsif terhadap kebutuhan perempuan. Gagasan ini pada awalnya sebagai bentuk
upaya kontekstualisasi nilai-nilai Islam saat ini. [10]
Sedangkan menurut Budhi Munawar Rachman, gerakan feminis ini telah muncul sejak
awal abad ke-20 yang digaungkan oleh tokoh feminis seperti ‘Aisyah Taymuniyah,
Zainab Fawwaz (esai Mesir), Rokeya Sakhwat Hosein, Nazzar Sajjad Haydar (dua
orang esais Lebanon), Emilie Ruete (Zanzibar), Taj al-Salthanah (Iran), Huda
Sya’rawi, Malak Hifni Nasir, Nabawiyah Musa (tiga tokoh feminis Mesir), Fatma
Aliye (Turki), termasuk Kartini (Indonesia).[11]
Meski demikian, perkembangan gagasan ini tidak terlepas dari
keterpengaruhan dari Barat yang dibawa oleh intelektual Mesir yang belajar ke
Eropa, salah satunya yakni perkembangan istilah Tahrir al-Mar’ah[12]
(Pembebasan Perempuan) yang berkembang pesat dan memantik kesadaran
masyarakat tentang ketertindasan terutama ditengah kolonialisme dan pengaruh
modernisme.[13]
Ketika gerakan feminis mulai muncul ke permukaan dengan identitas sebagai
feminis muslim, hal tersebut tentu menuai berbagai respon yang beragam. Di satu
sisi mereka dilekatkan dengan label sesat, kafir, dan berbagai narasi negatif
karena dianggap menentang agama. Namun di sisi lain kehadiran feminis muslim
menjadi titik balik kesadaran terhadap urgensi reinterpretasi terhadap teks
teks agama. Hal ini juga meniscayakan pergulatan diskursus dan legitimasi
penafsiran dan identitas sehingga memunculkan beragam tipologi feminis[14].[15]
Berbeda dengan gerakan yang muncul pada akhir abad 20 di Mesir yang
dipelopori oleh tokoh seperti Nabawiyah Musa, Zainab Al-Ghazali, dan lainnya
yang memberikan atensi lebih terhadap rekonstruksi pemahaman dan interpretasi
yang membelenggu perempuan di dalam Al-Qur’an. Mereka menyadari bahwa patriarkisme
bukan merupakan spirit Islam. Al-Qur’an sejatinya mengafirmasi prinsip-prinsip
kesetaraan terhadap umat manusia yang selama ini terbelenggu oleh
pemahaman-pemahaman missoginis. Upaya membongkar dan meluruskan kembali spirit
al-Qur’an ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal lahirnya feminisme Islam.[16]
Namun kelahiran istilah feminisme Islam turut menuai perdebatan
panjang untuk mengklarifikasi dan mempertegas identitas pada label ke-Islaman
yang melekat dalam penamaan tersebut.[17]
Perdebatan ini terkait konseptualisasi dan legitimasi dari identitas Islam dan
muslim dalam feminisme. Salah satu tokoh yang menentang keras pelabelan feminis
adalah Asma Barlas, ia mengemukakan bahwa bagaimana seseorang dapat
mengabsahkan label feminis terhadap dirinya padahal ia melabeli dirinya sebagai
seorang ‘Wanita Beriman’ (believing Woman). Pelabelan feminis yang
disematkan pada dirinya baik itu berkonotasi positif maupun negatif seolah
mengisyaratkan keseluruhan pemikirannya
diinspirasi oleh feminis, tanpa mempertimbangkan aspek ontologi dan
epistemologi dari istilah tersebut yang -jelas- berbeda. Bagaimana seseorang
dapat mengklaim dirinya sebagai seorang feminis padahal pemahamannya
terinspirasi dari teks Al-Qur’an tidak
sedikitpun berdasar pada teori-teori feminis manapun. Pertanyaan tersebut
menjadi titik tolak penolakan keras Asma Barlas terhadap pelabelan feminis atas
dirinya, karena bagaimanapun pembebasan dalam feminisme tidak akan sama sekali
terlepas dari politik, ideologi dan rasisme yang melekat erat dengan historisitas
kelahiran feminisme. Ia menganggap bahwa euphoria pembebasan feminis
seolah mengindahkan pembebasan perempuan
dalam Al-Qur’an di sepanjang sejarah pembebasan perempuan dalam Islam, yang
dinarasikan misoginis dan patriarkis oleh Fatima Mernissi[18].
Wajah patriarkis yang muncul, menurut Asma Barlas, dilegitimasi oleh
interpretasi yang melekat dengan konteks sosial kultural mufassir. Interpretasi
tersebut secara gradual terkontekstualisasi dalam perpektif laki-laki sehingga
menampilkan wajah teks-teks agama yang patriarkal.[19]
Penolakan Asma Barlas mulai mereda ketika ia mulai berdialog dengan Margot
Badran, alih-alih membenturkan keduanya, Margot badran justru menselaraskan dan
mengakomodasi perdebatan dengan membuat dikotomi yang jelas antara feminisme
Islam dan feminis Islam ketika dihadapkan dengan feminisme (Barat) yang
menampik pro dan kontra. Badran mengetengahkan istilah feminisme Islam sebagai
diskursus yang senada dengan persepsi kesetaraan gender yang diidealkan Barlas,
dan memberikan batas yang jelas terhadap istilah muslim dan Islam yang memiliki
klaim yang berbeda. Barlas mengafirmasi definisi yang ditawarkan Badran tentang
feminisme Islam sebagai sebuah wacana kesetaraan gender yang terinspirasi dari
Al-Qur’an dalam menjunjung keadilan terhadap seluruh manusia baik dalam
spektrum privat maupun publik.
“discourse of gender equality that derives its mandate from the
Qur’an and seeks rights and justice for all human beings across the totality of
public-private continuum”[20]
Afirmasi Asma Barlas terkait definisi feminisme Islam yang ditawarkan Badran tidak diterima an sich melainkan dengan catatan bahwa upaya Badran merelokasi feminisme dalam al-Qur’an, alih-alih memposisikan al-Qur’an dalam wacana feminis, tetap memiliki catatan kaki yang cukup Panjang. Barlas menilai bahwa Badran menampilkan feminis muslim yang memiliki spirit yang sejalan dengan definisi spirit yang berdasar pada Al-Qur’an. Meski demikian, Barlas tidak semerta memposisikan dirinya sebagai feminis Islam, ia enggan mengindentifikasi posisinya dengan persepsi bahwa upaya penamaan (identifikasi) meniscayakan sebuah upaya persamaan, alih-alih menselaraskan, ia justru khawatir hal itu menjadikan adanya pengabaian terhadap perbedaan signifikan antara keduanya (feminis Islam dan feminisme Islam).[21] Margot Badran menilai bahwa keberatan atas label feminis Islam dikarenakan pelabelan ini direduksi menjadi satu identitas. Sehingga sebagaimana sikap Barlas, alasan penolakan karena adanya pertimbangan politik dan diksi feminis Islam merujuk pada suatu terminologi dan epistemologi tertentu, walaupun dalam narasi dan identifikasi yang analitis.[22] Menurut Miriam Cooke, feminisme tidak hadir sebagai sebuah antitesa melainkan sebuah pergumuluan konteks menuju sebuah identitas baru untuk kembali mempertanyakan epistemologi ajaran Islam agar menghasilkan sebuah interpretasi baru tidak semerta-merta menolak Islam An sich.[23] Meski demikian, Badran menyadari bahwa wacana feminisme Islam telah menyebar pesat dan narasi egaliter Islam semakin meluas sehingga mulai meredam dan merekonstruksi pemahaman atas Islam (Al-Qur’an) yang selama ini dianggap patriarkis. Bagi Badran, inti dari feminisme Islam pada dasarnya berpijak pada nilai-nilai dasar dalam Al-Qur’an yang sejatinya telah memuat prinsip tentang kesetaraan gender.[24]
[1] Kata patriarki
sendiri berasal dari kata latin atau
Bahasa Yunani yakni pater yang artinya bapak, dan arche yang
artiya kekuasaan. Patriarki merupakan system struktur atau praktik social
yang memposisikan laki-laki sebagai
pihak yang mendominasi dan mengeksploitasi perempuan. Lihat Sylvia Walby, Theorizing
Patriarchy, (UK: Basil Backwell Ltd, 1990), 20.
[2] Irsyadunnas, Hermeneutika
Feminisme: Dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakatya: Penerbit
Kaukaba, 2014), 32.
[3] Androsentrisme
artinya bahwa konstruksi tradisi agama dikembangkan oleh laki-laki dan berfokus
hanya kepada laki-laki. Paham ini ditengarai memiliki tiga karakteristik, pertama,
norma laki-laki dan norma manusia dianggap sebagai sesuatu yang identik,
yang artinya noma laki-laki menjadi representasi norma manusia. Kedua, penyebutan
laki-laki dan kajian tentang laki-laki dianggap sudah mewakili perempuan. Ketiga,
penelitian tentan persoalan sosial, termasuk persoalan agama, sesungguhnya
berkaitan dengan kehidupan dan pikiran laki-laki, sedangkan kehidupan sosial
keagamaan perempuan ditempatkan sebagai sesuatu yang kurang penting. Inayah
Rohmaniyah, Konstruksi Patriarkhi
dalam Tafsir Agama Sebuah Jalan Panjang (Yogyakarta: IKAPI, 2014), 42-43.
Lihat juga, Lucinda Joy Peach, Women and World Religious (New Jersey:
Pearson Education, 2002), 1-2.
[4] Postmodernisme
merupakan segala bentuk kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi
metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme. Dikutip dari Jean-Francois
Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, oleh Johan
Setiawan dan Ajat Sudrajat, “Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya terhadap
Ilmu Pengetahuan”,Jurnal Filsafat, vol.28, no. 1, 2018. 28
[5] Dikutip oleh
Insyadunnas dari Robert L. Miller and John D. Brewer, The A-Z of Social
Research, (London: Sage Publication, 2003), 113. Lihat, Irsyadunnas, Hermeneutika
Feminisme: Dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakatya: Penerbit
Kaukaba, 2014), 32-33.
[6] Ibid.
[7] Euis Sunarti,
“Feminisme: Sejarah, Aliran dan Paradigma”, http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2020/10/Euis-Sunarti-Feminisme_Sejarah-Aliran-dan-Paradigma.pdf
[8] Ibid.
[9] Husein
Muhammad, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: Lkis,
2002), 7
[10] Ibid.
[11] Dikutip oleh
Irsyadunnas dari Budhy Munawar Rachman,” Islam dan Feminisme: dari Sentralisme
kepada Kesetaraan”, dalam Membicang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif
Islam, ed. Mansour Faqih (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 201. Lihat,
Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme: Dalam Pemikiran Tokoh Islam
Kontemporer, (Yogyakatya: Penerbit Kaukaba, 2014), 34.
[12] Qaim Amin
mengembangkannnya menjadi judul buku . Lihat, Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, (Kairo:
Dar Al-Ma’arif, t.th).
[13] Irsyadunnas, Hermeneutika
Feminis, 37.
[14] Terdapat
tipologi feminism yang berkembang dewasa ini, di antaranya, feminism liberal
dengan persepsi bahwa pelembagaan seksisme dan diri perempuan sebagai sumber
diskriminasi. Feminisme radikal dengan persepsi bahwa ideologi dan system
patriarki sebagai akar penindasan. Adapula feminisme Marxis, dengan keyakinan
bahwa system kapitalis sebagai akar diskriminasi dan feminisme sosialis yang
merupakan pengembangan feminisme marxis dengan persepsi bahwa perlu adanya
kesadaran kelas untuk mengubah kultur patriarkis. Inayah Rohmaniyah, Konstruksi
Patriarki dalam Tafsir Agama, 34-40.
[15] Amin Abdullah,
Gender dalam Studi Keislaman, dalam Kata Pengantar, Alimatul Qibtiyah, Feminisme
Muslim di Indonesia, (Yogyatarta: Suara Muhammadiyah, 2019), xi
[16] Nasaruddin
Umar, “Teks Al-Qur’an, Takwil dan Gender”kata pengantar Hermeneutika
Feminis: Dalam Pemikiran Tokoh Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Kaukaba,
2014), viii-ix.
[17] Margot Badran
menilai bahwa perdebatan banyak berkutat pada lebelisasi feminis Islam dan
feminism Islam. Sebagian besar penulis feminism Islam menolak dicap sebagai
seorang feminis Islam. Namun, Amina Wadud menjadi salah satu yang menerima
dengan lebelisasi tersebut. Dari pada label feminis Islam, Wadud lebih sering
dilabelkan dengan ‘Barat’ sebagai orang Amerika keturunan Afrika dan lebelisasi
tersebut direduksi sebagai anti-Islam. Di Sisi lain, ia juga dilabeli ‘feminis’
dengan reduksionis serupa. Menurut Amina Wadud, ketidaksetujuan atau tidaknya
terhadap labelisasi tersebut tidak mengindikasikan ketidaksetujuannya terhadap
Islam. Lihat, Margot Badran, “Engaging Islamic Feminism” Islamic Feminism:
Currents Perpectives, ed. Anitta Kynsilehto in Tampere Peace Research Institute
Occasional Paper No. 96, (Finlandia: Tampereen yliopiston julkaisujen myynti
(TAJU), 2008), 32; Amina Wadud, Qur’an and Women: Rereading The Sacred Text
from a Woman’s Perspective, (New York: Oxford University Press, 1999),
xviii.
[18] Margot Badran,
“Engaging Islamic Feminism”, 33.
[19]Asma Barlas,
“Engaging Islamic Feminism: Provincializing Feminism as A Master Naratives”,Islamic
Feminism: Currents Perpectives, ed. Anitta Kynsilehto in Tampere Peace Research Institute
Occasional Paper No. 96, (Finlandia: Tampereen yliopiston julkaisujen myynti
(TAJU), 2008), 15-19
[20] Ibid, 17-18.
[21] Ibid., 18.
[22] Margot Badran,
“Engaging Islamic Feminism” Islamic Feminism: Currents Perpectives, ed.
Anitta Kynsilehto in Tampere
Peace Research Institute Occasional Paper No. 96, (Finlandia: Tampereen
yliopiston julkaisujen myynti (TAJU), 2008), 33.
[23] Miriam Cooke, Women
Claim Islam: Creating Islamic Feminisme Through Literature, (New York:
Routledge, 2001), 58-59.
[24] Margot Badran,
“Engaging Islamic Feminism” Islamic Feminism: Currents Perpectives,
Silakan beri komentar dalam setiap postingan kami