![]() |
Ilustrasi: magdele.co |
Perihal historisitas dalam kemunculan feminisme di Timur Tengah, tentu tidak dapat kita lepaskan dari keterpengaruhan Barat. Meski tidak seluruhnya hingga segala yang lahir kemudian -tidak seharusnya- diklaim bagian dari Barat an sich. Margot Badran menilai bahwa pihak yang mengklaim feminisme adalah
‘Barat’ dan ‘Putih’ dikarenakan mereka
belum memahami historisitas kelahiran feminis. Padahal, baik Barat maupun
Timur, sejatinya berpijak pada kesamaan nasib dan perjuangan dalam pembebasan
hak-hak perempuan, kesetaraan gender dan perjuangan atas marginalisasi
perempuan. Tuduhan atas feminisme sebagai sebuah gerakan yang berafiliasi
dengan kolonialisasi tidak bisa dikatakan absah karena feminisme dalam
perjalanannya dan awal kemunculannya beroposisi dengan kolonialisme, bahkan
feminis di berbagai belahan dunia saling bergandengan tangan yang ditandai pada
konferensi internasional feminis pada abad ke 20 ketika posisi mereka sedang
berada dalam masa-masa kejayaan kolonialisme. [i]
Perkembangan feminisme di Timur Tengah sendiri -yang menjadi
pelopor feminisme Islam periode awal- memiliki dua paradigma dan corak
feminisme, yakni feminisme sekuler dan feminisme Islam. Kemunculan feminisme
sekuler yang muncul pada akhir abad ke-19 sejalan dengan gerakan modernitas
yang dibawa Muhammad Abduh. Term sekuler tersebut diasosiakan sebagai gerakan
feminis yang dipengaruhi oleh feminisme Barat. Gerakan ini beroposisi biner
dengan gerakan nasionalisme sekuler di Timur Tengah, di sisi lain gerakan ini
bergumul dalam wilayah mayoritas muslim dengan pluralitas agama, etnis dengan
focus gerakan untuk memperjuangkan kebebasan perempuan di ruang publik,
kesetaraan laki-laki dan perempuan serta rekonstruksi tentang gender di ranah
sosial, ekonomi hingga tranformasi tekonologi sebagai salah satu konsekuensi
dari perkembangan modernitas Barat.[ii] Meski
demikian, di sisi lain feminisme sekuler masih mengakomodasi peran hierarkis
gender di ranah domestik.[iii]
Adapun feminisme Islam diperkirakan muncul pada pertengahan abad ke-20 yang
bertolak pada asumsi bahwa Al-Qur’an mengafirmasi prinsip-prinsip kesetaraan
gender, namun interpretasi atasnya masih dipengaruhi oleh bias patriarki.[iv]
Perkembangan diskursus mengenai dikotomi feminisme sekuler dan
feminisme Islam pada akhirnya menemukan momentum untuk diselaraskan. Wacana ini
muncul dari Abdullah An-Na’im yang berupaya memadukan dan menyatukan keduanya,
yakni unsur religi dan sekuler sehingga kesenjangan antara keduanya dapat
diatasi. Wacana ini kemudian disampaikan dalam Conference on Religion,
Culture, and Woman’s Human Rights in The Muslim World tahun 1944 M. Tawaran
serupa juga muncul hampir satu dekade kemudian dari Talal Asad yang berupaya
merekonstruksi kedua aliran tersebut. Baginya, feminisme Islam perlu mengurangi
otoritas agama dan mulai mengadopsi metodologi sekuler untuk menguatkan
argumen, sedangkan feminisme sekuler diupayakan mampu mengadopsi nilai-nilai
agama dalam kajiannya untuk menuntut hak-hak perempuan, baik dalam pendidikan,
sosial, dan berbagai aspek lainnya.[v]
Namun pada intinya, Islam menjadi aspek yang berbeda dari duniawi, sedangkan
sekularisme sendiri telah tersakralkan.[vi] Menurut
Irsyadunnas, argumen inti dari Analisa Badran terkait dikotomi antara feminisme
sekuler dan feminisme Islam bukan seuatu hal yang prinsipiil, tetapi poin
penting yang perlu digarisbawahi bahwa Margot Badran beranggapan bahwa
kelahiran feminisme di Timur bukan duplikasi, imitasi atau bersumber dari
kolonilaiasi Barat melainkan lahir dari spirit sosial dan konteks masyarakat
Timur saat itu. Feminisme Timur Tengah bertolak pada interaksi sosial kultural
tentang kondisi dan kebutuhan atas perjuangan hak-hak perempuan di Timur
Tengah. Meski demikian, Irsyadunnas menilai bahwa betapapun substansi feminisme
Timur mengelak keterpengaruhan dengan Barat dan mengklaim inspirasi dari
Al-Qur’an dan hadis, tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat keterpengaruhan
Barat,[vii] baik
berupa episteme pemikiran maupun inspirasi gerakan. Pendekatan terhadap teks Al-Qur’an sebagai
langkah diskursif untuk merekonstruksi pemahaman yang mensubordinasi perempuan
ini kemudian dikenal dengan istilah hermenutika feminis.
[i] Margot Badran, “Engaging Islamic Feminism” Islamic Feminism:
Currents Perpectives, 27
[ii] Dalam ulasannya, Badran mengemukakan bahwa salah satu makna sekuler
juga berkaitan dengan pemisahan antara institusi negara dan agama. Margot Badran, Feminism in Islam: Secular
and Religious Convergences, (England: Oneworld Publications, 2009),
301-302.
[iii] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious
Convergences, 308.
[iv] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious
Convergences, 247
[v] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious
Convergences, (England: Oneworld Publications, 2009), 247
[vi] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious
Convergences, 305.
[vii] Iryadunnas, Hermeneutika Feminis, 39-40.
Silakan beri komentar dalam setiap postingan kami