Remang lampu jalan mensiasati trotoar desa Kalijaga, tak kepalang. Jangankan manusia, hewan pun enggan lewat. Baru 5 kilo meter dari tempat itu tampak beberapa perumahan mewah tempat para konglomerat kota Sampang menghabiskan waktu liburnya.
Sayup – sayup terdengar angin lewat. “Sepertinya kita salah jalan Cok!” bisik Asep pada Ucok yang berjalan tanpa ragu tak menghiraukan. Mereka terus berjalan mengikuti ruas trotoar yang remang. Ucok yang penuh keyakinan, berjalan sedikit di depan Asep yang sudah diguyur keringat dingin, wajahnya pucat tak karuan.
Ucok berhenti di ujung jalan trotoar, tanda sampai. Asep menabraknya dari belakang tak sengaja, menimbulkan sedikit keributan diantara keduanya. Hingga beberapa saat, suara rintih pintu terbuka dari rumah tua peninggalan Tionghoa, Ucok dan Asep diam tidak bergeming sedikitpun, perhatian mereka tertuju pada sosok yang muncul di balik bayang pintu rumah tua itu. “Selamat datang boejang, di rumah Penenangan!” Ucok tersenyum gembira atas sambutan dari laki-laki tua itu. Namun ia heran karena merasa Asep tiba-tiba tenang. Toleh lah ia kebelakang Asep sudah lari terbirit-birit ketakutan. Menyisakan angin di antara remang trotoar. Kecuali amal, tidak ada yang tertinggal selain sepi setelah kematian. Tidak ada yang menjanggal selain Asep yang berteriak pada dirinya sendiri, “Seetttaaann!”
_______________________________________
Karya: M. Ihsanuddin Nursi (Lentera Biru)
Silakan beri komentar dalam setiap postingan kami